fotoku

fotoku
FOTOKU BERSAMA TEMAN-TEMAN SAAT BERKUNJUNG KE LOMPAT BATU

Jumat, Mei 08, 2009

STRATEGI PEMIMPIN MEMECAHKAN KONFLIK

Seperti yang penulis katakan sebelumnya dalam memecahkan permasalahan (konflik) dibutuhkan kebijaksanaan yang tepat sehingga tidak menimbulkan persoalan yang baru atau menghilangkan masalah tanpa adanya penyelesaian yang tepat, yang pada akhirnya suatu saat masalah itu akan muncul kembali dan menjadi masalah yang sangat buruk. Untuk memecahkan masalah diperlukan teknik untuk membantu kita mendapatkan pemecahan yang tepat dan baik atas persoalan itu. Disini penulis memberikan beberapa teknik pemecahan yang mungkin pembaca dapat terapkan untuk memecahkan suatu konflik.1. Pemecahan masalah. Adalah sangat tidak bijaksana dan tidak lebih baik apabila suatu pihak menarik diri karena ada suatu konflik. Dan alangkah baik setiap pihak yang bertikai mengambil sikap duduk bersama (tatap muka) dengan berdialog untuk mengidentifikasi masalah dan memecahkannya melalaui pembahasan yang terbuka yang didasari dengan sikap rendah hati antara kedua belah pihak.2. Tujuan atasan. Menciptakan suatu tujuan bersama yang tidak dapat dicapai tanpa kerjasama dari masing-masing pihak yang sedang konflik. Mengedepankan kepentingan pribadi/kelompok atas kepentingan bersama, tidak akan pernah menyelesaikan permasalahan secara universal.3. Perluasan sumber daya. Kekurangan/ketiadaan sumber daya yang menyebabkan terjadinya konflik seperti ketiadaan uang, sarana-prasarana (tempat/peralatan), maka perluasansumber daya yang mungkin dapat diciptakan adalah “solusi menang-menang (win-win solution).4. Penghindaran. Disaat pintu konflik (potensi konflik) mulai ada, kesadaran semua pihak untuk menarik diri atau menekan konflik sangatlah diperlukan.5. Perataan. Prinsip yang mngedepankan kepentingan bersama atas kepentingan pribadi/kelompok yang berkonflik. Suatu perbedaan adalah wajar, namun bukan menjadikan setiap pihak berbeda tujuan atau tidak dapat bersatu.6. Kompromi. Kerendahan hati semua pihak yang bertikai menerima kepentingan bersama dan melepaskan (mengorbankan) sesuatu yang berharga atau kepentingan pribadi/kelompok.7. Komando otoritatif. Perlu adanya manajemen yang baik atas pengunaan otoritas formal yang diberikan dalam memecahkan konflik, yang selanjutnya keinginannya disampaikan kepada pihak-pihak yang terlibat.8. Mengubah struktur manusia. Sikap setiap manusia sangat mempengaruhi timbul atau tidak timbulnya suatu konflik. Oleh karenanya, dibutuhkan perubahan sikap dan perilaku kearah yang bersifat membangun yang tepat dari semua pihak, sperti pelatihan human relation yang baik (bndg. Gal,6:1-4; 1Kor,3:8; Fil,2:2-4).9. Mengubah struktur organisasi. Perubahan struktur organisasi dan pola hubungan antara pihak yang berkonflik dapat dilakukan apabila hal itu menyebabkan konflik, melalui desain ulang pekerjaan, pemindahan, pembuatan jabatan yang baru, dan lain-lain.Suatu konflik tidak selamanya menjadi seseuatu yang buruk jika saja setiap pihak memehami semua kondisi yang ada. Dan juga pandangan yang tepat atas konflik itu sendiri yakni memandang konflik itu sebagai suatu “dinamika” dalam sebuah kelompok/organisasi tanpa terkecuali. Konflik bukan untuk kita hindari tetapi kita mencari apa yang menjadi pemecahannya untuk kebaikan bersama. Konflik akan menjadi indah manakala konflik itu dapat diarahkan dengan baik dan tepat. Organisasi yang tidak mampu mengelola konflik atau menghindar dari konflik, niscaya organisasi/kelompok itu berkembang dengan baik atau bersifat kaku karena menutup diri pada ide-ide/gagasan baru dan segar. Semoga bermanfaat, jadilah pemimpin yang bijaksana, berhikmat dan berpengertian dalam segala hal. (Disadur dari berbagai sumber oleh Fasaoga)

Bagaimana mendapat Pemimpin Yang Dapat Diandalkan




Pemilu 2009: Momen Rakyat Memilih Pemimpin Berkualitas
Oleh Fasaoga Zebua



Pada tahun 2009 ini, rakyat Indonesia akan melakukan pesta terbesar yakni Pemilihan Umum. Waktunya bagi rakyat untuk memilih siapa wakil atau pemimpin mereka. Namun disisi lain juga ada rakyat baik secara individu maupun kelompok (komunitas) bersikap apatis, skeptis dan pesimis terhadap pemilu karena berbagai faktor. Mereka beranggapan bahwa pemilu hanyalah alat bagi para politisi untuk merebut suara rakyat demi kekuasaan (kepentingannya). Ini sungguh suatu peristiwa yang tragis memang, ditengah banyak dan kuatnya suara rakyat yang menjerit karena kesejahteraannya terabaikan, para wakil atau pemimpinnya bersikap arogan, egois, dan hidup bersenang-senang menggunakan uang rakyat. Tapi tidak dapat kita pungkiri juga bahwa dibangsa ini masih terdapat orang yang dapat diandalkan (memiliki visi, kemampuan, berintegritas, dan kasih akan bangsanya). Diantara sekian banyak calon wakil (pemimpin) rakyat (calon legislatif) yang tersebar dalam sejumlah partai politik, pastilah ada yang dapat diandalkan atau setidaknya mendekati harapan rakyat. Dengan kata lain setidak-tidaknya ada yang lebih baik diantara yang kurang baik itu. Skeptisme dan apatisme barangkali harus disingkirkan dalam diri pemilih, dan diubah menjadi sikap optimis dan peduli yang disertai dengan pemikiran akal sehat (rasional). Pergunakanlah hak pilih anda dengan penuh tanggung jawab sehingga anda tidak terbuai dan termakan ole janji-janji palsu mereka saat kampanye. Karena saat kampanye para calaon wakil rakyat melakukan “pencitraan diri” sebagai sosok yang paling layak dipilih, seolah mereka yang paling mampu mengatasi permaslahan bangsa.Di era demokrasi seperti saat ini, hal itu sah-sah saja dilakukan mereka. Dan rakyat juga memliki hak dan kebebasan untuk menentukan pilihannya. Rakyat adalah faktor penentu apakah mereka layak untuk mewakili rakyat. Bagaimanakah rakyat membuat pilihannya secara tepat? Caranya cukup mudah, dibutuhkan kepedulian mencermati rekam jejaknya, analisis informasinnya, kemudian buatlah keputusan yang tepat. Mencermati rekam jejak politisi (partai), apakah perkataan dan perbuatan mereka konsisten? Mempertimbangkan rekam jejak calon legislatif sebelum atau selama mengemban jabatan publik, kelakuannya saat kampanye (politik kotor/uang), partisipasinya dalam meloloskan praktik KKN, dan kepeduliannya terhadap publik (rakyat). Dalam memilih, rakyat hendaknya memilih atas dasar “kualitas” seorang figur calon. Jangan memilih karena figur calon tersebut “mewakili kuantitas”. Apalagi hanya karena hubungan/kesamaan suku, ras, agama dan bahkan semata-mata karena materi (politik uang). Memilih cara demikian berarti sama halnya dengan kita membeli kucing dalam karung yang tidak kita ketahui bagaimana ‘bobot-bebet-bibitnya’. Hal ini mestinya dihindari karena akan mereduksi semangat kebangsaan. Bangsa ini membutuhkan pemimpin-pemimpin yang berorientasi kebangsaan. Pemilih jangan sampai dijebak dalam kepentingan SARA (suku, agama, ras dn antar golongan) yang mungkin akan dijadikan isu oleh para calon untuk meningkatkan popularitas mereka. Seperti yang terjadi belakangan ini, agama dipropagandakan mampu mengatasi masalah bangsa. Tapi sungguh ironis, masalah sosial semakin meningkat dan sebagian disebabkan oleh fanatisme terhadap agama tertentu. Hendaknya agama jangan dijadikan sesuatu hal yang “disucikan melebihi manusia”. Mengapa demikian? Alasannya sederhana, karena manusia adalah ciptaan Allah yang paling mulia dari ciptaan lainnya, tapi “agama merupakan ciptaan manusia”. Jadi jikalau manusia yang beragama itu tidak suci (tidak mencerminkan buah-buah ajaran agamanya dengan benar) berarti agamanya itu telah ternodai. Ingat, hanya satu yang paling suci yaitu Allah. Dan seharusnya kesucian (kemurnian, ketulusan, dan keikhlasan) dari para calon wakil rakyat dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat yang menjadi perhatian utama kita, bukan pada keindahan pencitraan diri yang mereka lakukan.

Pemimpin Yang Dapat Diandalkan Rakyat




Oleh Fasaoga Zeb



Salah satu kebutuhan yang terbesar yang dihadapi oleh bangsa kita (Indonesia) saat ini adalah kurangnya pemimpin yang dapat diandalkan oleh rakyatnya. Krisis kepemimpinan dibangsa ini sangatlah mempengaruhi ketidakjelasan arah dan tujuan bangsa ditengah-tengah krisis multi dimensional yang berkepanjangan yang melanda negeri Indonesia. Dalam ukuran tertentu hal ini juga merupakan cerminan dari keadaan gereja-geraja kita. Banyak anggota jemaat yang menjerit: ”berikan pada kami pemimpin yang dapat diandalkan”. Rakyat (jemaat) membutuhkan pemimpin-pemimpin yang memiliki ‘visi, kemampuan, beritegritas, dan kasih akan bengsanya’. Harapan rakyat ini akan terus berhembus selama mereka dan harapan mereka belum terwujud dalam kehidupan yang ada “kedamaian dan kesejahteraan”. Disini muncul pertanyaan: kapankah impian mereka terwujud? Siapakah yang mewujudkan impian mereka? Dan bagaimana impian mereka itu bisa terwujud sebagaimana yang mereka harapkan? Sungguh ini suatu persoalan yang sulit untuk dipecahkan dengan mudah, tidak semudah membalikkan telapak tangan.


Akan tetapi setidaknya kita dapat mempergunkan kemampuan atau kepekaan kita melihat dan mengenal siapa kita dan siapa didepan (pemimpin) kita. Hal ini dibutuhkan karena kedalaman dan jauh pandang kita melihat dn mengenal keberadaan kita sangat menentukan arah dan sampai dimana yang akan kita tuju (kita dibawa). Oleh sebab itu, kesesuaian antara harapan rakyat dengan kemampuan pembawa harapan itu sangatlah mutlak terjadi, jika tidak krisis multidimensional akan terus melanda negeri.

Selasa, Mei 05, 2009

PENGARUH MODEL CTL TERHADAP HASIL BELAJAR


BAB I

PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah



Belakangan ini permasalahan pendidikan di Indonesia terus menjadi perbincangan diantara kalangan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh hasil belajar yang rendah dari kebanyakan lulusan lembaga pendidikan di Indonesia khususnya lembaga pendidikan tingkat menengah atas yang hingga sekarang belum menunjukkan hasil yang maksimal sebagaimana yang diharapkan, bahkan sebaliknya justru mengalami penurunan hasil belajar siswa (Baedhowi, “Pembentukan Karakter Diabaikan”, Kompas,18 November 2008, hal. 18).
Penurunan hasil belajar siswa ini juga dapat dilihat dari tingkat kelulusan siswa yang mengikuti ujian nasional. Dari data yang diperoleh, tingkat kelulusan siswa peserta Ujian Nasional 2008 mengalami penurunan dari 93% pada tahun 2007 menjadi 92% pada tahun 2008 atau turun 1% (depdiknas:2008). Demikian juga di Sumateran Utara, sebanyak 11.1392 siswa atau 4,08% siswa SMA tidak lulus UN dari standar kelulusan yang ditetapkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) selaku lembaga pelaksana Ujian Nasional 2008, yang menetapkan salah satu kriteria peserta didik dinyatakan lulus UN apabila nilai rata-rata minimal 5,25 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan dengan tidak ada nilai di bawah 4,25 (http://www.sfeduresearch.org/content/view/339/65/ lang,id/.).
Fakta lain yang menunjukkan rendahnya hasil belajar siswa, dapat dilihat langsung di sekolah-sekolah. Itu tercermin dari perolehan nilai siswa di SMA Swasta Raksana Medan, salah satu sekolah yang ada di Medan. Selama kurun waktu lima tahun terakhir ini mengalami penurunan hasil belajar siswa. Dari informasi yang diperoleh dari kepala sekolah dan guru bidang studi akuntansi menunjukkan rendahnya hasil belajar siswa disekolah tersebut, khususnya mata pelajaran akuntansi. Ini terbukti dari nilai rata-rata harian kelas yang di peroleh siswa menunjukkan siswa yang mendapatkan nilai diatas 80 sebanyak 10% dan nilai 60-80 sekitar 30%, dan sisanya di bawah 60 sekitar 60%.
Keberhasilan siswa dalam suatu proses belajar dipengaruhi oleh banyak faktor baik secara internal maupun secara eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang ada dalam diri siswa tersebut seperti kesehatan, psikologis. Sedangkan faktor yang berasal dari luar diri siswa dapat berupa keadaan sosial ekonomi keluarga, sarana prasarana sekolah, lingkungan tempat ia tinggal, kurikulum, kualitas guru, dan sebagainya. Seorang guru harus mampu memahami faktor-faktor ini dan merancang pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan menggunakan strategi dan metode pengajaran yang bervariasi sehingga proses belajar mengajar menjadi lebih menarik dan tidak membosankan dan siswa mau aktif dalam proses belajar mengajar.
Akan tetapi metode pembelajaran yang umum digunakan oleh guru-guru disekolah adalah metode pembelajaran tradisional (MPT). Pada pola ini, peserta didik diposisikan sebagai objek pembelajaran sedangkan guru sendiri sebagai subjek. Kemudian Canra (2008:5) menyatakan “pembelajaran tradisional telah menjadikan peserta didik cenderung pasif dan apatis sehingga peserta didik tidak mengalami proses dari pembelajaran tersebut”. Seperti halnya yang terjadi di SMA Swasta Raksana Medan khusunya dalam mata pelajaran akuntansi, guru masih cenderung menjadi pusat yang memberikan pengajaran secara umum dan bersifat satu arah tanpa memperhatikan perbedaan kemampuan siswa. Dalam proses pembelajaran guru menjelaskan bahan ajar dengan ceramah, memberi contoh soal untuk dikerjakan bersama-sama dikelas, dan memberi tugas di akhir pembelajaran untuk dikerjakan dirumah. Hal ini menjadi salah satu faktor rendahnya hasil belajar akuntansi siswa disekolah tersebut.
Untuk itu dalam mengajarkan akuntansi diperlukan pengajaran yang mendorong siswa mau mempraktekkan apa yang telah dipelajarinya dalam kehidupannya sehingga siswa dituntut untuk terlibat secara aktif dalam proses belajar mengajar. Agar hal ini dapat tercapai, maka guru sebagai fasilitator dan pembimbing bagi siswa harus mampu melakukan pengajaran yang efektif dan efisien dengan merancang model pembelajaran yang sesuai dan strategi serta metode yang bervariasi sehingga pembelajaran menarik dan tidak membosankan bagi siswa.
Salah satu model pembelajaran yang menekankan keterlibatan siswa dalam proses belajar mengajar adalah model pembelajaran kontekstual. Model pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching Learning (CTL)) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa.
(Makalah ini disampaikan pada seminar proposal untuk diteliti oleh Fasaoga. Dilarang menjiplak/mencopy isi makalah ini tanpa seizin penulis)