fotoku

fotoku
FOTOKU BERSAMA TEMAN-TEMAN SAAT BERKUNJUNG KE LOMPAT BATU

Senin, Juli 13, 2009

PERSOALAN PENIDIKAN DI INDONESIA

Permasalahan Pendidikan di Indonesia
Dan Solusinya


Permasalahan pendidikan di Negara Indonesia, masih terus menjadii perbincangan hangat didalam masyarakat. Berbagai kritik, solusi telah dilontarkan oleh berbagai pihak baik secara individu, komiunitas, maupun secara kelembagaan. Bahkan pakar-pakar pendidikan telah dan terus memperbincangkan persoalan ini untuk mencari solusinya. Tetapi yang sungguh mengherankan, dari sekian banyak kritik dan solusi, mengapa pendidikan kita juga belum menunjukkan perubahan yang nyata. Pada hal permaslahan ini telah bertahun dibahas, namun tetap saja perubahan yang lebih baik itu belum tampak dan dirasakan masyarakat. Faktanya menunjukkan sarana dan prasarana masih sangat banyakk yang kurang dari segi kauntitas dan kualitas. Kekurangan sarana dan prasarana sudah barang tentu mempengaruhi hasil belajar (prestasi) siswa. Lihat saja hasil atau tingkat kelulusan kelulusan Ujian Nasional siswa-siswi disekolah masih sangat rendah. Dan hasil itupun telah ternodai kecurangan yang konon pelakunya adalah lembaga pendidikan itu sendiri yang dirancang secara sistematis. Bahkan kejadian ini telah menimbulkan reaksi berbagai pihak, tak terkecauli Komunitas Air Mata Guru (KAMG) sebagai komunitas guru yang menolak hasil Ujian Nasional dengan penentuan standar kelulusan yang menyertainya. Penolakan ini cuklup beralasan, sebab dalam pelaksanaan Ujian Nasional memang terbukti tidak murni (curang) dan penerapan standar kelulusan sangat tidak sesuai dengan keadaan dilapangan khususnya didaerah. Banyak sekolah didaerah bahkan diperkotaan yang masih sangat minim sarana dan prasarananya, jumlah dan mutu tenaga pendidik yang sangat rendah, anggaran yang juga kurang dan sebagainya. Hal ini menjadi ketimpangan mutu pendidikan di Indonesia sehingga penerapan standar kelulusan ujian nasional memberatkan bagi siswa siswi sekolah yang serba kekurangan tersebut. Pada akhirnya kondisi demikian mendorong sekolah-sekolah untuk melakukan kecurangan dengan tujuan siswa disekolah tersebut dapat lulus dan sekaigus mamalsukan “cap baik” bagi sekolah yang bersangkutan agar dipandang baik oleh atasannya dengan cara berusaha menyenangkannya alias “asal bapak senang (ABS)”.
Perhatian kita tidak hanya berfokus dari segi sarana dan prasarana saja. Aspek lainya juga perlu diberi perhatian khusus sperti aspek tenaga pendidik. Kita harus akui bahwa kualitas para tenaga pendidik dinegara Indonesia masih sangat minim dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Sebagai bukti, masih ada tenaga pendidik dilembaga penidikan dasar yang hanya tamatan Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas/Sederajat. Begitu juga dilembaga pendidikan tinggi masih banyak yang hanya tamatan strata satu (S1) baik perguruan tinggi negeri maupun swasta (SIB, 2008). Wajar saja kalu mutu pendidikan kita masih rendah karena memang keberadaan tenaga pendidik kita bagaikan “jeruk makan jeruk”. Artinya seorang tenaga pendidik mengajari orang yang belajar pada tingkat pendidikan yang sama dengan tamatan pendidikan pendidik tersebut. Pertanyaanya, bagaimana solusinya? Kita patut apresiasikan langkah kementerian pendidikan melalui dinas pendidikan melaksanakan penyetaraan ataupun sertifikasi guru dan dosen dalam rangka meningkatkan profesionalisme guru/dosen. Namun hal ini tidak serta merta menjamin mutu pendidikan di Indonesia lebih baik sebab jumlah guru dan dosen yang ikut sertifikasi masih sangat sedikit dari jumlah yang ada dan kita juga belum tahu seperti apa wujud pelaksanaan penyetaraan (sertifikasi) tersebut apakah mendukung peningkatan kualits guru/dosen pesertanya. Kita berharap hal tersebut benar-benar dilaksanakan dan seluruh guru dan dosen mendapatkannya. Jangan sampai ada diskriminasi dan pelaksanaanya memenuhi harapan kita semua. Bukan untuk tujuan semata-mata untuk memenuhi syarat mendapatkan tunjangan profesi guru, seperti berita yang berkembang dalam masyarakat saat ini. Nah, bagaimana dengan masalah kuantitas guru yang tersedia? Masih cukup mengkhawatirkan, banyak sekolah khususnya pendidikan dasar yang hanya memiliki satu, dua orang guru saja yang merangkap jabatan kepala sekolah dan pengajar. Bisa kita bayangkan guru yang mengajar tersebut mengajarkan semua bidang studi. Maka tepatlah istilah sesungguhnya master semua ilmu (MSI) itu ada dilembaga pendidikan dasar karena guru-gurunya mengajarkan semua ilmu. Itu artinya ketersedian tenga pendidik di Indonesia masih sangat terbatas jumlahnya. Adanya penerimaan pegawai negeri sipil dalam bidang penidikan akhir-akhir ini tidaklah mutlak perpengaruh besar terdap jumlah tenaga pendidik di Indonesia karena sebagian besar guru-guru baru yang direkrut itu semata-mata untuk mengisi kembali posisi-posisi guru sebelumnya yang telah pensiun dan akan pensiun. Untuk mengatasi hal ini dibutuhkan peran serta semua pihak dimana pemerintah diharapkan menjadi “best police maker (pembuat kebijakan terbaik)” kalau tidak, niscaya hal ini dapat terwujud.
Kepedulian yang serius dari pemerintah yang didasari ketulusan, keikhlasan dan kejujuran sangatlah mutlak dilakukan ada. Pemerintah jangan hanya bisa memberikan janji-janji politik yang pada dasarnya adalah janji kosong. Yang diperlukan masyarakat adalah tindakan konkrit dan tepat dari lembaga eksekutif kita dalam memperhatikan pendidikan di Indonesia termasuk soal anggaran pendidikan yang telah disahkan sebesar 20% dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara; jaminan perbaikan kesejahteraan guru dan jaminan memeperoleh pendidikan bagi setiap warga negara serta perbaikan dan peningkatan segala kebutuhan disekolah-sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Jangan sperti yang lalu-lalu banyak kebijakkan yang dikeluarkan tapi pelaksanaanya kurang bahkan hampir tidak ada, Banyak realisasinya yang bersifat formalitas saja. Pemerintah mestinya malu kika kebijakan yang dia buat dianggap oleh rakyatnya sebagai kebijakan “aspal (asli apa palsu)” dengan motto “kebijakan pemerintah kerap kali bagus tapi payah dalam pelaksanaanya”. Itu artinya apa? Setiap kebijakan yang pemerintah buat tampak bagus dan sedap didengar rakyat. Akan tetapi kalau ditanya dan dilihat bagaimana realisasinya tidak ada. Masyarakat hanya merasakan derita yang semakin mendalam dan menjadi korban pembodohan dan pembohongan dari para eksekutifnya yang tidak bertanggung jawab dan tidak memiliki hati nurani. Jaminan memeperoleh pendidikan sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 hanyalah menjadi dongeng bagi mereka yang menjadi korban tersebut. Mereka ini menjadi korban penjajahan dalam pendidikan di Indonesia.
Muncul pertanyaan, sampai kapan mereka dijajah dalam pendidikan atau kapakah mereka menikmati pendidikan yang layak? Hanya waktu yang bisa menjawabnya dan peran serta semua pihak yang berhati mulia memajukan pendidikan di Indonesia. Terkhusus pemerintah yang punya tanggung jawab besar dalam mengatasi masalah ini melalui pembuatan kebijakan pendidikan yang mengutamakan kepentingan rakyat, bukan kepentingan elit, bisnis (pengusaha), dan lain-lain yang seolah-olah pro pada rakyat. Setiap warga negara harus bisa memperoleh pendidikan dengan akses informasi yang mudah, kemudahan administrasi masuk perguruan tinggi, dan yang lebih utamanya adalah biaya pendidikan murah bahkan gratis sampai perguruan tinggi sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945. kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat mestinya tidak perlu dibuat seperti halnya dengan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan yang konon tampak bagus dan seolah pro rakyat, namun sesungguhnya lebih berorientasi untuk mendaptkan keuntungan. Itu artinya bahwa perguruan tinggi boleh mengutip biaya besar bagi anggota masyarakat yang masuk perguruan tinggi. Atau dengan kata lain masyarakat yang melanjutkan pendidikan diperguruan tinggi akan dibebankan biaya besar. Rakyat (mahasiswa) ini akan menjadi objek keuntungan kampus secara finansial. Meskipun dalam undang-undang Badan Hukum Pendidikan tersebut terdapat iming-iming keringan biaya, tapi itu tidaklah bararti bagi rakyat (mahasiswa), apalagi dengan kondisi ekonomi rakyat yang masih sangat rendah dan lemah saat ini. Sebab sebagaimana yang penulis katakan sebelumnya bahwa kebijakan pemerintah acap kali bagus, tapi payah dalam pelaksanaan.
Sebagai penutup, permasalahan pendidikan di Indonesia merupakan tanggung jawab semua pihak sehingga dibutuhkan peran semua elemen bangsa ini untuk berpikir dan bertindak untuk memajukan pendidikan bagi seluruh warga negara. Tak terkecuali pemerintah yang mempunyai andil besar dalam membuat kebijakan yang seharusnya mementingkan rakyat, bukan kebijakan yang seolah-olah mementingkan rakyat namun sesungguhnya hanya kepentingan elit, golongan tertentu saja. Hendaknya lembaga pendidikan kita menjadi tempat untuk memanusiakan manusia Indonesia seutuhnya, bukan sebagai tempat meraih keuntungan belaka. Lembaga pendidikan jangan menjadi seperti perusahaan dagang produk yang orientasinya pada laba yang sebesar-besarnya. Dan untuk mencapai tujuannya dilakukan dengan strategi penarikan konsumen dengan cara memberikan diskon besar (subRata Penuhsidi) namun harganya telah dinaikkan lebih tinggi sehingga berapapun subsidi yang diberikan tidak akan berarti atau mengurangi beban masyarakat, sebab kemampuan membayar masyarakat masih sangat rendah dibawah harga yang dibebankan tersebut. Pemenuhan kebutuahn rakyat akan pendidikan yang layak akan terwujud apabila rakyat mudah mengakses informasi lembaga penidikan; kemudahan administrasi masuk perguruan tinggi; kualitas penidikan yang memadai; biaya pendidikan yang murah bahkan gratis; peningkatan kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana; dan peningkatan jumlah dan mutu tenaga pendidik beserta kesejahteraanya. (Fasaoga Z. Penulis Adalah Mahasiswa salah satu PTN di Sumut, Peminat Masalah Sosial Dan Pendidikan, Aktivis CCIG)