fotoku

fotoku
FOTOKU BERSAMA TEMAN-TEMAN SAAT BERKUNJUNG KE LOMPAT BATU

Senin, Juli 13, 2009

PERSOALAN PENIDIKAN DI INDONESIA

Permasalahan Pendidikan di Indonesia
Dan Solusinya


Permasalahan pendidikan di Negara Indonesia, masih terus menjadii perbincangan hangat didalam masyarakat. Berbagai kritik, solusi telah dilontarkan oleh berbagai pihak baik secara individu, komiunitas, maupun secara kelembagaan. Bahkan pakar-pakar pendidikan telah dan terus memperbincangkan persoalan ini untuk mencari solusinya. Tetapi yang sungguh mengherankan, dari sekian banyak kritik dan solusi, mengapa pendidikan kita juga belum menunjukkan perubahan yang nyata. Pada hal permaslahan ini telah bertahun dibahas, namun tetap saja perubahan yang lebih baik itu belum tampak dan dirasakan masyarakat. Faktanya menunjukkan sarana dan prasarana masih sangat banyakk yang kurang dari segi kauntitas dan kualitas. Kekurangan sarana dan prasarana sudah barang tentu mempengaruhi hasil belajar (prestasi) siswa. Lihat saja hasil atau tingkat kelulusan kelulusan Ujian Nasional siswa-siswi disekolah masih sangat rendah. Dan hasil itupun telah ternodai kecurangan yang konon pelakunya adalah lembaga pendidikan itu sendiri yang dirancang secara sistematis. Bahkan kejadian ini telah menimbulkan reaksi berbagai pihak, tak terkecauli Komunitas Air Mata Guru (KAMG) sebagai komunitas guru yang menolak hasil Ujian Nasional dengan penentuan standar kelulusan yang menyertainya. Penolakan ini cuklup beralasan, sebab dalam pelaksanaan Ujian Nasional memang terbukti tidak murni (curang) dan penerapan standar kelulusan sangat tidak sesuai dengan keadaan dilapangan khususnya didaerah. Banyak sekolah didaerah bahkan diperkotaan yang masih sangat minim sarana dan prasarananya, jumlah dan mutu tenaga pendidik yang sangat rendah, anggaran yang juga kurang dan sebagainya. Hal ini menjadi ketimpangan mutu pendidikan di Indonesia sehingga penerapan standar kelulusan ujian nasional memberatkan bagi siswa siswi sekolah yang serba kekurangan tersebut. Pada akhirnya kondisi demikian mendorong sekolah-sekolah untuk melakukan kecurangan dengan tujuan siswa disekolah tersebut dapat lulus dan sekaigus mamalsukan “cap baik” bagi sekolah yang bersangkutan agar dipandang baik oleh atasannya dengan cara berusaha menyenangkannya alias “asal bapak senang (ABS)”.
Perhatian kita tidak hanya berfokus dari segi sarana dan prasarana saja. Aspek lainya juga perlu diberi perhatian khusus sperti aspek tenaga pendidik. Kita harus akui bahwa kualitas para tenaga pendidik dinegara Indonesia masih sangat minim dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Sebagai bukti, masih ada tenaga pendidik dilembaga penidikan dasar yang hanya tamatan Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas/Sederajat. Begitu juga dilembaga pendidikan tinggi masih banyak yang hanya tamatan strata satu (S1) baik perguruan tinggi negeri maupun swasta (SIB, 2008). Wajar saja kalu mutu pendidikan kita masih rendah karena memang keberadaan tenaga pendidik kita bagaikan “jeruk makan jeruk”. Artinya seorang tenaga pendidik mengajari orang yang belajar pada tingkat pendidikan yang sama dengan tamatan pendidikan pendidik tersebut. Pertanyaanya, bagaimana solusinya? Kita patut apresiasikan langkah kementerian pendidikan melalui dinas pendidikan melaksanakan penyetaraan ataupun sertifikasi guru dan dosen dalam rangka meningkatkan profesionalisme guru/dosen. Namun hal ini tidak serta merta menjamin mutu pendidikan di Indonesia lebih baik sebab jumlah guru dan dosen yang ikut sertifikasi masih sangat sedikit dari jumlah yang ada dan kita juga belum tahu seperti apa wujud pelaksanaan penyetaraan (sertifikasi) tersebut apakah mendukung peningkatan kualits guru/dosen pesertanya. Kita berharap hal tersebut benar-benar dilaksanakan dan seluruh guru dan dosen mendapatkannya. Jangan sampai ada diskriminasi dan pelaksanaanya memenuhi harapan kita semua. Bukan untuk tujuan semata-mata untuk memenuhi syarat mendapatkan tunjangan profesi guru, seperti berita yang berkembang dalam masyarakat saat ini. Nah, bagaimana dengan masalah kuantitas guru yang tersedia? Masih cukup mengkhawatirkan, banyak sekolah khususnya pendidikan dasar yang hanya memiliki satu, dua orang guru saja yang merangkap jabatan kepala sekolah dan pengajar. Bisa kita bayangkan guru yang mengajar tersebut mengajarkan semua bidang studi. Maka tepatlah istilah sesungguhnya master semua ilmu (MSI) itu ada dilembaga pendidikan dasar karena guru-gurunya mengajarkan semua ilmu. Itu artinya ketersedian tenga pendidik di Indonesia masih sangat terbatas jumlahnya. Adanya penerimaan pegawai negeri sipil dalam bidang penidikan akhir-akhir ini tidaklah mutlak perpengaruh besar terdap jumlah tenaga pendidik di Indonesia karena sebagian besar guru-guru baru yang direkrut itu semata-mata untuk mengisi kembali posisi-posisi guru sebelumnya yang telah pensiun dan akan pensiun. Untuk mengatasi hal ini dibutuhkan peran serta semua pihak dimana pemerintah diharapkan menjadi “best police maker (pembuat kebijakan terbaik)” kalau tidak, niscaya hal ini dapat terwujud.
Kepedulian yang serius dari pemerintah yang didasari ketulusan, keikhlasan dan kejujuran sangatlah mutlak dilakukan ada. Pemerintah jangan hanya bisa memberikan janji-janji politik yang pada dasarnya adalah janji kosong. Yang diperlukan masyarakat adalah tindakan konkrit dan tepat dari lembaga eksekutif kita dalam memperhatikan pendidikan di Indonesia termasuk soal anggaran pendidikan yang telah disahkan sebesar 20% dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara; jaminan perbaikan kesejahteraan guru dan jaminan memeperoleh pendidikan bagi setiap warga negara serta perbaikan dan peningkatan segala kebutuhan disekolah-sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Jangan sperti yang lalu-lalu banyak kebijakkan yang dikeluarkan tapi pelaksanaanya kurang bahkan hampir tidak ada, Banyak realisasinya yang bersifat formalitas saja. Pemerintah mestinya malu kika kebijakan yang dia buat dianggap oleh rakyatnya sebagai kebijakan “aspal (asli apa palsu)” dengan motto “kebijakan pemerintah kerap kali bagus tapi payah dalam pelaksanaanya”. Itu artinya apa? Setiap kebijakan yang pemerintah buat tampak bagus dan sedap didengar rakyat. Akan tetapi kalau ditanya dan dilihat bagaimana realisasinya tidak ada. Masyarakat hanya merasakan derita yang semakin mendalam dan menjadi korban pembodohan dan pembohongan dari para eksekutifnya yang tidak bertanggung jawab dan tidak memiliki hati nurani. Jaminan memeperoleh pendidikan sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 hanyalah menjadi dongeng bagi mereka yang menjadi korban tersebut. Mereka ini menjadi korban penjajahan dalam pendidikan di Indonesia.
Muncul pertanyaan, sampai kapan mereka dijajah dalam pendidikan atau kapakah mereka menikmati pendidikan yang layak? Hanya waktu yang bisa menjawabnya dan peran serta semua pihak yang berhati mulia memajukan pendidikan di Indonesia. Terkhusus pemerintah yang punya tanggung jawab besar dalam mengatasi masalah ini melalui pembuatan kebijakan pendidikan yang mengutamakan kepentingan rakyat, bukan kepentingan elit, bisnis (pengusaha), dan lain-lain yang seolah-olah pro pada rakyat. Setiap warga negara harus bisa memperoleh pendidikan dengan akses informasi yang mudah, kemudahan administrasi masuk perguruan tinggi, dan yang lebih utamanya adalah biaya pendidikan murah bahkan gratis sampai perguruan tinggi sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945. kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat mestinya tidak perlu dibuat seperti halnya dengan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan yang konon tampak bagus dan seolah pro rakyat, namun sesungguhnya lebih berorientasi untuk mendaptkan keuntungan. Itu artinya bahwa perguruan tinggi boleh mengutip biaya besar bagi anggota masyarakat yang masuk perguruan tinggi. Atau dengan kata lain masyarakat yang melanjutkan pendidikan diperguruan tinggi akan dibebankan biaya besar. Rakyat (mahasiswa) ini akan menjadi objek keuntungan kampus secara finansial. Meskipun dalam undang-undang Badan Hukum Pendidikan tersebut terdapat iming-iming keringan biaya, tapi itu tidaklah bararti bagi rakyat (mahasiswa), apalagi dengan kondisi ekonomi rakyat yang masih sangat rendah dan lemah saat ini. Sebab sebagaimana yang penulis katakan sebelumnya bahwa kebijakan pemerintah acap kali bagus, tapi payah dalam pelaksanaan.
Sebagai penutup, permasalahan pendidikan di Indonesia merupakan tanggung jawab semua pihak sehingga dibutuhkan peran semua elemen bangsa ini untuk berpikir dan bertindak untuk memajukan pendidikan bagi seluruh warga negara. Tak terkecuali pemerintah yang mempunyai andil besar dalam membuat kebijakan yang seharusnya mementingkan rakyat, bukan kebijakan yang seolah-olah mementingkan rakyat namun sesungguhnya hanya kepentingan elit, golongan tertentu saja. Hendaknya lembaga pendidikan kita menjadi tempat untuk memanusiakan manusia Indonesia seutuhnya, bukan sebagai tempat meraih keuntungan belaka. Lembaga pendidikan jangan menjadi seperti perusahaan dagang produk yang orientasinya pada laba yang sebesar-besarnya. Dan untuk mencapai tujuannya dilakukan dengan strategi penarikan konsumen dengan cara memberikan diskon besar (subRata Penuhsidi) namun harganya telah dinaikkan lebih tinggi sehingga berapapun subsidi yang diberikan tidak akan berarti atau mengurangi beban masyarakat, sebab kemampuan membayar masyarakat masih sangat rendah dibawah harga yang dibebankan tersebut. Pemenuhan kebutuahn rakyat akan pendidikan yang layak akan terwujud apabila rakyat mudah mengakses informasi lembaga penidikan; kemudahan administrasi masuk perguruan tinggi; kualitas penidikan yang memadai; biaya pendidikan yang murah bahkan gratis; peningkatan kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana; dan peningkatan jumlah dan mutu tenaga pendidik beserta kesejahteraanya. (Fasaoga Z. Penulis Adalah Mahasiswa salah satu PTN di Sumut, Peminat Masalah Sosial Dan Pendidikan, Aktivis CCIG)

Senin, Juli 06, 2009

CARA ORANG KRISTEN MEMECAHKAN KONFLIK

Prinsip Dalam Memecahkan Masalah
f.zebua

Kata bijak mengatakan tidak ada masalah yang tidak ada jalan keluarnya. Kalimat ini ada benarnya tergantung bagaimana sikap kita terhadap permasalahan itu sendiri. Adalah lebih baik dalam mengahdapi segala sesuatu kita punya prinsip “berpikir dahulu baru bertindak bukan bertidak dahulu baru berpikir”. Yang dibutuhkan dalam memecahkan konflik adalah kebijaksanaan dalam mengambil keputusan yang tepat atas persoalan itu. Beberapa cara yang dapat kita lakukan dalam menghadapi persoalan.1. Kita dapat mengabaikannya. Kita telah membiasakan diri kita untuk mengabaikan masalah, untuk tidak melihat kebanyakan persoalan kita. Seandainya kita tidak sanggup mengabaikan sesuatu, pasti kita semua akan masuk orang yang mengalami gangguan kejiwaan (maaf, barangkali kita semua berada dirumah sakit jiwa). Kita harus mampu melihat persoalan yang mana yang lebih perlu. Dan perlu diingat juga masalah-masalah kecil yang sering muncul kembali adalah gejala adanya masalah tersembunyi yang lebih besar sehingga diperlukan penyelidikan yang lebih mendalam atas persoalan itu.2. Kita dapat menghindarinya. Menghadapi suatu prsoalan prlu adanya ketelitian dan pemahaman yang tepat akan masalah itu sehingga kebijakan yang kita ambil tidak menimbulkan masalah baru yang tadinya tidak ada menjadi ada bahkan mungkin lebih besar lagi.3. Menjaga agar jangan timbul permasalahan. Adanya peluang terjadinya persoalan baru, dibutuhkan pengambilan keputusan yang tepat agar peluang terjadinya masalah tadi tidak terjadi. Ibarat menjauhkan barang/benda tajam dari jangkauan anak-anak dengan menyimpannya ditempat yang tidak dapat dijangkau anak-anak sehingga tidak terjadi resiko yang fatal bagi anak tersebut.4. Memecahkan persoalan itu. Namun perlu diingat juga bahwa tidak semua masalah memiliki pemecahan yang sama, tergntung bentuk/sifat dari masalah itu sendiri. Misalnya apabila muncul suatu kesalahpahaman, maka yang dibutuhkan oleh pihak yang salah paham tersebut untuk memecahkan permasalahan adalah “pengertian”.5. Belajar hidup dalam persoalan itu. Jika suatu masalah itu dianggap suatu hal yang perlu dihindari akan membuat kita tidak pernah menyelesaikan persoalan. Tidak semua konflik menghasilkan hal yang buruk, tapi dapat juga bermanfaat bagi kita yang biasa biasa dalam hidup. Ambil contoh persoalan yang dihasdapi Paulus ketika dia menjadi pengabar injil diberbagai tempat, dia rela untuk dipenjarakan. Tapi apa yang menjadi sikap Paulus sangatlah kontroversial secara logika kita manusia. Paulus menerima dan menyetujui kondisi itu karena keyakinannya terhadap Tuhan (bndg 2 Korintus,2:8-10)6. Sikap orang Kristen terhadap masalah. Jika kita orang yang percaya bahwa firman Tuhan itu benar, persoalan yang kita hadapi bukanlah suatu hal yang ditakuti orang Kristen. Alkitab menunjukkan pada kata bagaimana menghadapi persoalan (konflik) seperti yang disaksikan oleh Paulus dalam (2Korintus 12:8-10) dan yang ditulis oleh hamba-hamba Tuhan lainnnya (bndg Yakobus 1:2-5).
Diposkan oleh ononiha di 8:51:00 AM (disadur dari berbagai sumber)

Masalah Kunjungan ke Nias

PETUGAS PELABUHAN MAIN MATA
Y. Zebua
Adalah sudah menjadi rahasia umum diIndonesia setiap kali ada kecelakaan transportasi, para pihak-pihak yang terkait selalu mencari alasan pembenaran diri. Salah satu contoh baru-baru ini telah terjadi musibah tenggelamnya kapal motor didaerah perairan Sulawesi yang telah menelan korban ratusan jiwa. Betapa tidak berharaganya jiwa seorang manusia dinegeri ini. Ketika masyarakat, media menanyakan kepada pihak yang seharusnya bertanggung jawab dalam musibah in,jawaban yang santer kita dengar adalah faktor alam/cuaca yang tidak bagus. Apakah iya dizaman modern yang serba canggih sekarang ini faktor cuaca tidak dapat mendekteksi hal tersebut atau jika memang tidak ada alat pendeteksinya, setidaknya bisa belajar dari pengalaman kecelakaan yang banyak menimpa transportasi kita belakangan ini? Ataukah hal itu diabaikan demi keuntungan dalam bisnis pelayaran? Sungguh ironis, bangsa yang memiliki maritim yang sangat luas ini, tidak mampu mengadakan peralatan canggih untuk mendeteksi keadaan alam. Sudah saatnya para pihak yang terkait memikirkan perbaikan transportasi kita yang sangat amburadul ini.Namun masalahnya bukan hanya itu saja, faktor dari manusia itu sendiri juga perlu diberi perhatian lebih. Secanggih apapun teknologi yang digunakan, namun jika manusianya tidak memiliki etika baik, tidak akan ada artinya karena manusia itu yang menjadi faktor utamanya dalam pengelolaan alat-alat tersebut. Artinya jikapun peralatan canggih telah diadakan namun manusia sengaja melalaikan tugas dan tanggung jawabnya, maka usaha yang dilakukan akan menjadi sia-sia saja. Sebagai contoh , beberapa waktu yang lalu saya punya pengalaman saat berkunjung ke Pulau Nias bulan Desember 2008 lalau. Saya memulai perjalanan dengan naik angkutan (taxi) dari Medan menuju pelabuhan SIBOLGA. Sesampainya disana saya langsung ke Loket penjualan tiket kapal motor penumpang menuju Nias. Begitu loket dibuka langsung diserbu calon penumpang yang membeli tiket kapal. Begitu terkejutnya saya dalam sejenak petugas loket mengatakan tiket sudah habis. Menurut pengamatan saya, saat itu yang sudah dapat tiket masih sekitar puluhan orang, padahal daya tampung kapal tersebut sekitar 200 orang. Saya pun mencoba cari tahu, dan ternyata dari informan yang saya dapat, tiket cepat habis karena sudah ada orang dalam yang menjual tiket itu kepada para calo. Rasa penasaran saya pun semakin tinggi. Akhirnya saya mencoba mencari orang yang jual tiket diluar. Dan memang benar calo-calo itu meiliki 5-10 tiket, dengan nama yang asal dibuat dan harga satu tiket juga naik antara 200-300% dari harga yang sebenanya. Yang lebih mengherankan lagi, orang yang tidak punya tiket dapat naik kapal tanpa tiket dan jaminan, cukup bayar kepada petugas saja. Penasaran dengan hal itu, saya juga dalam keadaan terdesak, mencoba naik kapal dengan jalur tersebut, dan ternyata memang benar juga. Ketika dilakukan pengecekkan diatas kapal, saya aman-aman saja, tidak diperiksa. Setelah kapal berangkat, saya mencoba jalan-jalan diatas kapal, begitu kagetnya saya melihat penumpang yang harus duduk 5 orang diatas 1 kursi, ada yang duduk ditangga kapal bahkan ditempat pembuangan (maaf: pintu WC), ada juga yang duduk dipinggir-pinggir kapal tersebut yang sangat membahayakan jiwa mereka. Saya memperkirakan penumpang kapal tersebut leih dari tiga ratus orang, belum lagi truk beserta barang, mobil, sepeda motor. Selama perjalanan saya hanya berdoa dalam hati "semoga saja kami tidak terjadi apa-apa dengan keadaan kapal seperti ini".Dan walaupun kami dapat sampai dipelabuhan Gunung Sitoli, namun hatiku begitu mencemaskan. Saya berharap ketika saya kembali dari Nias ( bulan Januari 2009) tidak mengalami hal ini lagi. Akan tetapi harapan itu tidak terwujud, hal yang serupa juga terjadi saat saya mencari tiket kapal menuju pelabuhan Sibolga. Bahkan keadaannya justru lebih buruk lagi. Waktu datang keloket untuk membeli tiket, petugasnya mengatakan tiket telah habis, jika bapak mau tiket, ada tapi harganya mahal (200% dari harga sebenarnya) dan tiketnya diambil diatas kapal nanti. Karena saya juga sudah lelah mencari dan tiket tergesa-gesa pulang, sayapun menyetujui tawaran itu dengan diantar oleh orang yang ditunujuk oleh petugas loket tersebut yang menurut saya orang kepercayaannya. Betapa menyedihkannya setelah saya dikapal saya tidak kunjung dikasih tiket dan juga tidak diperiksa tiket. Keadaan dikapal tidak jauh beda dengan keadaan saat saya berangkat, penumpang berdiri dan berdesak-desakkan seperti musibah pembagian zakat yang terjadi di Jawa Timur beberapa waktu lalu, ada yang duduk ditangga-tangga kapal, tidur dipinggir-pinggir kapal,dan dibagian-bagian kapal yang dapat digunakan untuk duduk, tidur tanpa memperhatikan itu tempat apa. Saya bersama seorang teman yang dijanjikan tiket sebelumnya mengmbil tempat didekat tempat kendaraan dengan beralaskan koran selama dalam perjalanan.Begitulah gambaran transportasi laut kita sekarang ini, begitu memprihatinkan keadaannya. Saya dapat menyimpulkan kecelakaan bahwa musibah demi musibah yang menimpa transportasi kita beberapa tahun terkhir ini lebih disebabkan oleh kelalaian menjalankan tugas oleh pihak terkait dan petugas yang sengaja melalaikan peraturan demi mendapatkan keuntungan. Oleh karenanya peran serta masyarakat, media, LSM dan tindakan tegas pemerintah dalam menegakkan hukum sangat dibutuhkan.

MENJAWAB KERAGUAN ORANG KRISTEN DALAM MEMILIH

Memilih Bagi Orang Kristen, Hak atau Kewajiban?
oleh Fasaoga

Banyak diantara kalangan jemaat (rakyat) digereja, persekutuan, dan komunitas kristen memperdebatkan apakah orang kristen boleh terlibat atau tidak dalam politik? Apakah memilih itu hak atau kewajiban? Ada banyak argumen yang dilontarkan oleh jemat untuk menjawab pertanyaan ini, baik yang setuju ataupun tidak setuju dan yang menyatakan hak atau kewajiban. Tetapi ada hal yang perlu dipahami orang kristen yaitu keberadaan kita dan hakekat politik tersebut. Sebagai manusia ciptaan Tuhan, kita diberi tugas dan tanggung jawab Sang Pencipta. Yesus berkata: “kamu adalah garam dunia” (Matius, 5:13). Ini artinya diberiNYA tugas dan tanggung jawab menggarami dunia. Sifat garam adalah asin. Tidak jarang garam digunakan sehari-hari dalam makanan karena kemampuan pengaruhnya mengubah cita rasa. Proses pelarutan garam tidak tampak oleh kita, tapi pengaruhnya sangat terasa. Kalau kita memaknai dalam kehidupan perpolitikan bahkan aspek lainnya seperti ekonomi, sosial, dan sebagainya berarti orang kristen mempunyai peranan, tugas,dan tanggung jawab yang sangat besar “sebagai garam”. Berperan sebagai garam, orang kristen tidak perlu melihat “kuantitas (jumlah)”, melainkan pada “kualitas iman, kasih, karakter, dan intelektual”. Kualitas itulah yang harus mempengaruhi kondisi bangsa. Hendaknya orang kristen tidak kehilangan visi dan misi kristiani atau tenggelam dalam pergolakkan politik (dunia). Orang kristen harus memiliki dan mempertahankan sikap positif, konstruktif, dinamis, dan kritis terhadap masalah bangsa. Politik janganlah dipandang sebagai sesuatu yang tabu atau kotor, najis. Sebab politik pada dasarnya bermakna “menata”; “mengatur” dan memiliki tujuan “untuk menyejahterakan rakyat”. Memang praktik perpolitikkan saat ini telah kehilangan makna dan tujuannya. Akan tetapi, itu terjadi karena orang didalamnya (politikus) memiliki hati dan pikiran yang jahat (kotor) terhadap politik itu sendiri. Jadi bukan politiknya yang kotor. Ibarat mobil yang dibawa oleh orang mabuk, maka jalan mobilnya juga seperti orang mabuk. Jadi pengembalian makna dan tujuan politik sangat tergantung pada orang yang terlibat didalamnya (politisi itu sendiri).Hubungannya dengan pemilu adalah hak kita dalam menentukan wakil atau pemimpin kita yang akan membawa kita pada kehidupan yang “tertata”, “teratur” (kedamaian) dan “kesejahteraan”. Sebagai warga bangsa Indonesia, kita punya “hak” dalam memilih bukan suatu kewajiban. Kita boleh memilih ataupun tidak. Namun perlu kita ingat, bahwa keberadaan kita sebagai umat kristiani dibumi Indonesia merupakan “anugerah Allah”, termasuk hak-hak kita. Sebagaimana yang dikatakan rasul Paulus: “tetapi karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang.....”(Ikorintus, 15:10). Kita bertanggung jawab kepada Tuhan untuk menggunakan berkat yang dikaruniakanNYA pada kita, termasuk sebagai warga Indonesia. DIA menempatkan kita disini karena Tuhan punya maksud dan rencana yang indah dengan memberikan kita tanggung jawab sebagai garam. Jadi persoalannya bukan pada boleh atau tidak menggunakan hak pilih kita, tetapi tanggung jawab kita sebagai garam tadi. Kita memilih salah satu wakil kita atas dasar “tanggung jawab secara vertikal kepada Tuhan” dan secara horizontal kepada negara (warga)”. Sikap golput (tidak memilih) adalah sikap yang tidak bijaksana dan tidak bertanggung jawab. Anda memilih atau tidak, semua rakyat akan diwakili atau dipimpin oleh mereka yang dipilih rakyat banyak.

Sebagai refleksi bagi kita, sikap skeptis, apatis, pesimis harus disingkirkan, dan diubah menjadi sikap positif, optimis, konstruktif, dinamis, dan kritis terhadap masalah bangsa. Politik adalah suatu bidang pelayanan yang seharusnya ditunjukkan kasih Allah itu. KasihNYA nyata dalam upaya setiap warga mengusahakan kesejahteraan umum. Ini suatu tanggung jawab kita dari Tuhan sebagaimana yang dinyatakanNYA kepada nabi Yeremia (29:7): “usahakanlah kesejahteraan kota kemana kamu Allah buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada Tuhan, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu”. Yesus adalah teladan kita dalam menyatakan keberpihakkanNYA terhadap kaum yang kecil, lemah, miskin, dan terpinggirkan. Mari kita mengikuti dan meneladani kepemimpinan Tuhan Yesus.

MENGELOLA KONFLIK MENJADI DINAMIKA DALAM PELAYANAN/GEREJA




Mendengar kata konflik bukanlah sesuatu kata yang baru atau juga telah usang ditelinga kita. Siapapun pastilah pernah mendengar,melihat, dan mengalami bahkan mengatasi konflik, baik konflik internal maupun konflik eksternal. Bagi sebagian orang konflik dipandang sebagaii seseuatu yang buruk atau selalu memiliki konotasi negatif. Konflik sering dihubungkan dengan pertengkaran, perkelahian,pengrusakkan, perpecahan dan lain sebagainya. Contohnya adalah konflik di Aceh, di Poso, konflik dalam organisasi seperti konflik di partai kebangkitan bangsa antara Gusdur dengan Muhaimin Iskandar dan lain-lain. Ataupun apabila kita mendengar ada konflik didalam pelayanan, kita sudah segera mengetahui apa yang dimaksudkan, dan sebaliknya juga konflik tidak selalu membawa hal yang buruk tapi ada juga makna ataupun nilaii positif dari konflik itu. Konflik selalu melibatakan dua atau lebih sisi yang berlawanan, baik itu berhubungan dengan orang, peraturan, budaya, maupun benda-benda tertentu. Jikalau demikian halnya yang menjadi pertanyaan bagi kita “apakah konflik seuatu hal yang perlu kita hindari?”
Untuk menjawab pertanyaan itu maka terlebih dahulu kita harus berada pada pemahaman yang sama tentang makna konflik itu. Secara umum konflik diartikan sebagaii percekcokkan; perselisihan, pertentangan, atau ketegangan. Contoh sederhanya adalah konflik batin, yang artinya bahwa dalam diri seseorang terdapat dua atau lebih gagasan atau keinginan yang bertentangan seperti dalam memilih “tujuan hidup”-mengikuti keinginan duniawi atau mengikuti “jalan yang benar”. Hal ini biasanya akan mempengaruhi tingkah laku seseorang trsebut. Contoh lain yang dapat kita lihat atau alami langsung adalah konflik sosial yang artinya terdapat pertentangan/perlawanan /persaingan antar anggota masyarakat yang sifatnya universal. Konflik dapat terjadi apabila pihak-pihak yang bertentangan saling bertemu dan berbenturan.
Suatu perbedaan, ataupun yang bertentangan (berlawanan) jika dikelola dengan baik dan tepat (asal tidak berbenturan) akan memberikan dampak yang positif. Salah satu contohnya, didalam ilmu pengetahuan , aliran listrik pada dua kutub yang berbeda yang terdapat dalam sebuah baterai akan mengahasilkan tegangan (jangan dikontak langsung, akan terjadii hubungan pendek) yang dapat diperlukan untuk untuk menghasilkan aliran listrik. Jikalau hasil tegangan ini dikelola, diarahkan, diatur sedemikian rupa , tentu akan memberikan manfaat yang berguna untuk menerangi, ketika tegangan itu meneurun/hilang, maka terang suatu lampu juga hilang (padam). Contoh-contoh diatas sapat menjadi bahan atau dasar pemikiran bagi kita tentang makna dan pengaruh positif dan negatif suatu konflik.Dalam tulisan ini penulis mencoba meminjam definisi konflik yang dibuat oleh Stephen Robbins yang mengatakan bahwa “konflik (pertentangan) adalah suatu proses yang mulai bila satu pihak merasakan bahwa pihak lain telah atau akan segera mempengaruhi secara negatif sesuatu yang menjadi perhatian pihak pertama. Artinya bahwa apabila dalam suatu kegiatan yang sedang berlangsung terdapat titik interaksi (titik permasalahan dalam hubungan satu dengan lainnya) yang saling bersilangan, maka titik tersebut berpotensi menimbulkan konflik antar pihak. Kemungkinan konflik yang terjadi dapat berbentuk/sifatnya kasar, terbuka, dan penuh kekerasan atau halus yang diwujudkan dalam ketidaksepakatan. Barangkali definisi diatas menambah pengetahuan atau membuka mata kita dalam memandang suatu konflik. Mungkin saja selama ini kita memiliki pandangan bahwa konflik sesuatu yang buruk (negatif/merugikan) sehingga harus dihindari akibat dari pada komunikasi yang buruk, kurang keterbukaan, kepercayaan antar orang-orang dengan para pemimpin ataupun mitra dan sebaliknya pimpinan tidak tanggap terhadap kebutuhan para bawahannya. Ataupun juga menganut pandangan bahwa konflik adalah kejadian yang wajar/tidak terhindarkan dalam organisasi sehingga harus diterima karena dapat dijadikan pendorong kinerja kelompok/organisasi itu sendiri. Maupun pandangan lainnya yang menganggap konflik adalah hal yng mutlak perlu dalam organisasi /kelompok agar kinerjanya efektif, karena adanya keterbukaan dalam menerima gagasan atau ide-ide segar dan baru yang muncul, yang pada akhirnya organisasi tidak bersifat kaku, demokratis, atau “yes man” dapat diminimalkan. Terlepas apa dan darimana kita memandang suatu konflik, namun yang perlu kita perhatikan bahwa secara umum konflik dalam organisasi/kelompok terjadi apabila terdapat dua atau lebih hal/pendapat yang berbeda atau bertentangan yang tidak dapat dikompromikan. Dan apabila masing-masing pihak yang berbeda pendapat itu bersih keras memaksakan pendapatnya sendiri atau kelompoknya, maka peluang terjadinya konflik yang berkepanjangan akan bisa terjadi dan menimbulkan perpecahan dalam kelompok/organisasi itu sendiri yang pada akhirnya juga akan menghambat kinerja organisasi/kelompok apabila konflik yang terjadi tersebut tidak diatasi dengan baik dan tepat. Dan hal ini dapat terjadi diorganisasi manapun tidak terkecuali organisasi pelayanan atau gereja.
(Disadur oleh Fasaoga, dari berbagai sumber)

Sumber Terjadinya Konflik Dalam Pelayanan/Gereja

Tahu Sumber Konflik, Tahu Mengatasinya

Adanya suatu konflik disebabkan adanya sumber konflik tersebut. Seorang pemimpin maupun orang yang berperan serta mengetahui sumber konflik sesungguhnya untuk dilakukan penyelesaian. Ada beberapa hal yang menyebabkan timbulnya konflik :1. Filosofi kepemimpinan dalam geraja/pelayanan yang tidak tepat.2. Arti persekutuan (gereja/pelayan) yang sempit. Biasanya gereja/pelayanan hanya berkisar pada perhimpunan kehadiran dalam kebaktian dinilai sebagai kekristenan itu sendiri3. Gereja ataupun pelayanan tidak atau kekurangan tujuan yang pasti4. Masalah yang timbul bisa memicu adanya konflik. Masalah merupakan kesenjangan antara harapan dengan fakta atau kondisi atau situasi normal yang sudah berubah menjadi tidak normal lagi. Ketidak normalan situasi dan kondisi ini disebabkan oleh beberapa faktor:a) Salah mengerti yaitu salah mengerti tindakan atau perkataan orang lain atau situasi dan kondisi. Salah mengerti ini meliputi: ketidakmampuan ‘melihat’ dengan jelas semua faktor/unsur yang terlibat; salah menafsirkan arti atau motif dibalik perkataan atau perbuatan seseorang; dan ketidak cocokkan; pertengkaran/ perselisihan karena kurang puas atas jawaban tau tindakan seseorangb) Salah menafsirkan tindakan ataupun perbuatan orang lain atau keadaan sekitar menyebabkan munculnya akar konflikc) Kekacauan. Seluruh data yang diperlukan tersedia, tetapi tidak tersusun secara kronologis atau tidak sesuai dengan kebiasaan berpikir kita.d) Konfrontasi-konfrontasi. Adanya hambatan pencapaian tujuan yang bisa nyata ataupun khayalan saja (gambaran mental saja) seperti kekhawatiran dan ketakutane) Kekurangan jawab yang diterima atau tidak sepaham dengan pemecahan-pemecahan yang diterapkan (kurang informasi)f) Sikap yang salah atau tidak bersifat kristiani. Kesulitan-kesulitan tidak ada kecuali kita menjadikan situasi normal berubah menjadi masalah. Jika harus memilih antara berorintasi pada “masalah” atau “situasi”, kesulitannya bukanlah terletak pada yang sedang terjadi melainkan pada sikap kita menghadapi persoalan itu.g) Keperluan secara fisik, psikologis dan spiritual tidak trpenuhi. Banyak hal yang diinginkan namun tidak semua hal diperlukan, oleh karena perlu adanya pemilahan anatara keduanya.Bagaimanakah Masalah Itu Dalam Kristen?
Jika orang pada umumnya menganggap bahwa konflik/masalah sesuatu hal yang buruk, mungkin bisa diterima karena fakta demikian yang mereka terima. Konflik (permasalahan) selalu melibatkan dua atau lebih sisi berlawanan, baik yang berhubungan dengan orang, peraturan, budaya, maupun benda-benda. Dalam hidup orang Kristen apakah hal ini sesusatu yang perlu kita terima atau ditolak? Yakobus 1:2-5 coba menjawab pertanyaan ini.”Adalah suatu kebahagiaan jika orang Kristen jatuh dalam pencobaan karena hal itu akan menjadikannya sempurna. Bagi orang Kristen masalah bukan sesuatu yang buruk sehingga dihindari. Akan tetapi masalah itu merupakan ujian bagi orang Kristen kearah yang lebih baik. Situasi apapun akan dapat menjadi masalah (menimbulkan konflik apabila kita merasa atas persoalan itu tetapi kita tidak mendapatkannya. Hal tersebut tidak dapat bahwa harus ada jawab diterima sebagai bagaian dari situasi yang normal; hal itu tidak dapat terselesaikan dalam waktu yang cukup lama. Dan sebaliknya masalah yang buruk akan menjadi pengalaman yang indah apabila firman Allah dalam Yakobus 1;2-4, kita terima suatu kebenaran firman Allah; akibat (dampak) dari pengalaman itu dapat ditafsirkan sebagai kemenangan; dan bersuka dalam duka, serta berlimpah dalam kemurahan dan memberi sesuai dengan kemampuan.

Jumat, Mei 08, 2009

STRATEGI PEMIMPIN MEMECAHKAN KONFLIK

Seperti yang penulis katakan sebelumnya dalam memecahkan permasalahan (konflik) dibutuhkan kebijaksanaan yang tepat sehingga tidak menimbulkan persoalan yang baru atau menghilangkan masalah tanpa adanya penyelesaian yang tepat, yang pada akhirnya suatu saat masalah itu akan muncul kembali dan menjadi masalah yang sangat buruk. Untuk memecahkan masalah diperlukan teknik untuk membantu kita mendapatkan pemecahan yang tepat dan baik atas persoalan itu. Disini penulis memberikan beberapa teknik pemecahan yang mungkin pembaca dapat terapkan untuk memecahkan suatu konflik.1. Pemecahan masalah. Adalah sangat tidak bijaksana dan tidak lebih baik apabila suatu pihak menarik diri karena ada suatu konflik. Dan alangkah baik setiap pihak yang bertikai mengambil sikap duduk bersama (tatap muka) dengan berdialog untuk mengidentifikasi masalah dan memecahkannya melalaui pembahasan yang terbuka yang didasari dengan sikap rendah hati antara kedua belah pihak.2. Tujuan atasan. Menciptakan suatu tujuan bersama yang tidak dapat dicapai tanpa kerjasama dari masing-masing pihak yang sedang konflik. Mengedepankan kepentingan pribadi/kelompok atas kepentingan bersama, tidak akan pernah menyelesaikan permasalahan secara universal.3. Perluasan sumber daya. Kekurangan/ketiadaan sumber daya yang menyebabkan terjadinya konflik seperti ketiadaan uang, sarana-prasarana (tempat/peralatan), maka perluasansumber daya yang mungkin dapat diciptakan adalah “solusi menang-menang (win-win solution).4. Penghindaran. Disaat pintu konflik (potensi konflik) mulai ada, kesadaran semua pihak untuk menarik diri atau menekan konflik sangatlah diperlukan.5. Perataan. Prinsip yang mngedepankan kepentingan bersama atas kepentingan pribadi/kelompok yang berkonflik. Suatu perbedaan adalah wajar, namun bukan menjadikan setiap pihak berbeda tujuan atau tidak dapat bersatu.6. Kompromi. Kerendahan hati semua pihak yang bertikai menerima kepentingan bersama dan melepaskan (mengorbankan) sesuatu yang berharga atau kepentingan pribadi/kelompok.7. Komando otoritatif. Perlu adanya manajemen yang baik atas pengunaan otoritas formal yang diberikan dalam memecahkan konflik, yang selanjutnya keinginannya disampaikan kepada pihak-pihak yang terlibat.8. Mengubah struktur manusia. Sikap setiap manusia sangat mempengaruhi timbul atau tidak timbulnya suatu konflik. Oleh karenanya, dibutuhkan perubahan sikap dan perilaku kearah yang bersifat membangun yang tepat dari semua pihak, sperti pelatihan human relation yang baik (bndg. Gal,6:1-4; 1Kor,3:8; Fil,2:2-4).9. Mengubah struktur organisasi. Perubahan struktur organisasi dan pola hubungan antara pihak yang berkonflik dapat dilakukan apabila hal itu menyebabkan konflik, melalui desain ulang pekerjaan, pemindahan, pembuatan jabatan yang baru, dan lain-lain.Suatu konflik tidak selamanya menjadi seseuatu yang buruk jika saja setiap pihak memehami semua kondisi yang ada. Dan juga pandangan yang tepat atas konflik itu sendiri yakni memandang konflik itu sebagai suatu “dinamika” dalam sebuah kelompok/organisasi tanpa terkecuali. Konflik bukan untuk kita hindari tetapi kita mencari apa yang menjadi pemecahannya untuk kebaikan bersama. Konflik akan menjadi indah manakala konflik itu dapat diarahkan dengan baik dan tepat. Organisasi yang tidak mampu mengelola konflik atau menghindar dari konflik, niscaya organisasi/kelompok itu berkembang dengan baik atau bersifat kaku karena menutup diri pada ide-ide/gagasan baru dan segar. Semoga bermanfaat, jadilah pemimpin yang bijaksana, berhikmat dan berpengertian dalam segala hal. (Disadur dari berbagai sumber oleh Fasaoga)

Bagaimana mendapat Pemimpin Yang Dapat Diandalkan




Pemilu 2009: Momen Rakyat Memilih Pemimpin Berkualitas
Oleh Fasaoga Zebua



Pada tahun 2009 ini, rakyat Indonesia akan melakukan pesta terbesar yakni Pemilihan Umum. Waktunya bagi rakyat untuk memilih siapa wakil atau pemimpin mereka. Namun disisi lain juga ada rakyat baik secara individu maupun kelompok (komunitas) bersikap apatis, skeptis dan pesimis terhadap pemilu karena berbagai faktor. Mereka beranggapan bahwa pemilu hanyalah alat bagi para politisi untuk merebut suara rakyat demi kekuasaan (kepentingannya). Ini sungguh suatu peristiwa yang tragis memang, ditengah banyak dan kuatnya suara rakyat yang menjerit karena kesejahteraannya terabaikan, para wakil atau pemimpinnya bersikap arogan, egois, dan hidup bersenang-senang menggunakan uang rakyat. Tapi tidak dapat kita pungkiri juga bahwa dibangsa ini masih terdapat orang yang dapat diandalkan (memiliki visi, kemampuan, berintegritas, dan kasih akan bangsanya). Diantara sekian banyak calon wakil (pemimpin) rakyat (calon legislatif) yang tersebar dalam sejumlah partai politik, pastilah ada yang dapat diandalkan atau setidaknya mendekati harapan rakyat. Dengan kata lain setidak-tidaknya ada yang lebih baik diantara yang kurang baik itu. Skeptisme dan apatisme barangkali harus disingkirkan dalam diri pemilih, dan diubah menjadi sikap optimis dan peduli yang disertai dengan pemikiran akal sehat (rasional). Pergunakanlah hak pilih anda dengan penuh tanggung jawab sehingga anda tidak terbuai dan termakan ole janji-janji palsu mereka saat kampanye. Karena saat kampanye para calaon wakil rakyat melakukan “pencitraan diri” sebagai sosok yang paling layak dipilih, seolah mereka yang paling mampu mengatasi permaslahan bangsa.Di era demokrasi seperti saat ini, hal itu sah-sah saja dilakukan mereka. Dan rakyat juga memliki hak dan kebebasan untuk menentukan pilihannya. Rakyat adalah faktor penentu apakah mereka layak untuk mewakili rakyat. Bagaimanakah rakyat membuat pilihannya secara tepat? Caranya cukup mudah, dibutuhkan kepedulian mencermati rekam jejaknya, analisis informasinnya, kemudian buatlah keputusan yang tepat. Mencermati rekam jejak politisi (partai), apakah perkataan dan perbuatan mereka konsisten? Mempertimbangkan rekam jejak calon legislatif sebelum atau selama mengemban jabatan publik, kelakuannya saat kampanye (politik kotor/uang), partisipasinya dalam meloloskan praktik KKN, dan kepeduliannya terhadap publik (rakyat). Dalam memilih, rakyat hendaknya memilih atas dasar “kualitas” seorang figur calon. Jangan memilih karena figur calon tersebut “mewakili kuantitas”. Apalagi hanya karena hubungan/kesamaan suku, ras, agama dan bahkan semata-mata karena materi (politik uang). Memilih cara demikian berarti sama halnya dengan kita membeli kucing dalam karung yang tidak kita ketahui bagaimana ‘bobot-bebet-bibitnya’. Hal ini mestinya dihindari karena akan mereduksi semangat kebangsaan. Bangsa ini membutuhkan pemimpin-pemimpin yang berorientasi kebangsaan. Pemilih jangan sampai dijebak dalam kepentingan SARA (suku, agama, ras dn antar golongan) yang mungkin akan dijadikan isu oleh para calon untuk meningkatkan popularitas mereka. Seperti yang terjadi belakangan ini, agama dipropagandakan mampu mengatasi masalah bangsa. Tapi sungguh ironis, masalah sosial semakin meningkat dan sebagian disebabkan oleh fanatisme terhadap agama tertentu. Hendaknya agama jangan dijadikan sesuatu hal yang “disucikan melebihi manusia”. Mengapa demikian? Alasannya sederhana, karena manusia adalah ciptaan Allah yang paling mulia dari ciptaan lainnya, tapi “agama merupakan ciptaan manusia”. Jadi jikalau manusia yang beragama itu tidak suci (tidak mencerminkan buah-buah ajaran agamanya dengan benar) berarti agamanya itu telah ternodai. Ingat, hanya satu yang paling suci yaitu Allah. Dan seharusnya kesucian (kemurnian, ketulusan, dan keikhlasan) dari para calon wakil rakyat dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat yang menjadi perhatian utama kita, bukan pada keindahan pencitraan diri yang mereka lakukan.

Pemimpin Yang Dapat Diandalkan Rakyat




Oleh Fasaoga Zeb



Salah satu kebutuhan yang terbesar yang dihadapi oleh bangsa kita (Indonesia) saat ini adalah kurangnya pemimpin yang dapat diandalkan oleh rakyatnya. Krisis kepemimpinan dibangsa ini sangatlah mempengaruhi ketidakjelasan arah dan tujuan bangsa ditengah-tengah krisis multi dimensional yang berkepanjangan yang melanda negeri Indonesia. Dalam ukuran tertentu hal ini juga merupakan cerminan dari keadaan gereja-geraja kita. Banyak anggota jemaat yang menjerit: ”berikan pada kami pemimpin yang dapat diandalkan”. Rakyat (jemaat) membutuhkan pemimpin-pemimpin yang memiliki ‘visi, kemampuan, beritegritas, dan kasih akan bengsanya’. Harapan rakyat ini akan terus berhembus selama mereka dan harapan mereka belum terwujud dalam kehidupan yang ada “kedamaian dan kesejahteraan”. Disini muncul pertanyaan: kapankah impian mereka terwujud? Siapakah yang mewujudkan impian mereka? Dan bagaimana impian mereka itu bisa terwujud sebagaimana yang mereka harapkan? Sungguh ini suatu persoalan yang sulit untuk dipecahkan dengan mudah, tidak semudah membalikkan telapak tangan.


Akan tetapi setidaknya kita dapat mempergunkan kemampuan atau kepekaan kita melihat dan mengenal siapa kita dan siapa didepan (pemimpin) kita. Hal ini dibutuhkan karena kedalaman dan jauh pandang kita melihat dn mengenal keberadaan kita sangat menentukan arah dan sampai dimana yang akan kita tuju (kita dibawa). Oleh sebab itu, kesesuaian antara harapan rakyat dengan kemampuan pembawa harapan itu sangatlah mutlak terjadi, jika tidak krisis multidimensional akan terus melanda negeri.

Selasa, Mei 05, 2009

PENGARUH MODEL CTL TERHADAP HASIL BELAJAR


BAB I

PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah



Belakangan ini permasalahan pendidikan di Indonesia terus menjadi perbincangan diantara kalangan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh hasil belajar yang rendah dari kebanyakan lulusan lembaga pendidikan di Indonesia khususnya lembaga pendidikan tingkat menengah atas yang hingga sekarang belum menunjukkan hasil yang maksimal sebagaimana yang diharapkan, bahkan sebaliknya justru mengalami penurunan hasil belajar siswa (Baedhowi, “Pembentukan Karakter Diabaikan”, Kompas,18 November 2008, hal. 18).
Penurunan hasil belajar siswa ini juga dapat dilihat dari tingkat kelulusan siswa yang mengikuti ujian nasional. Dari data yang diperoleh, tingkat kelulusan siswa peserta Ujian Nasional 2008 mengalami penurunan dari 93% pada tahun 2007 menjadi 92% pada tahun 2008 atau turun 1% (depdiknas:2008). Demikian juga di Sumateran Utara, sebanyak 11.1392 siswa atau 4,08% siswa SMA tidak lulus UN dari standar kelulusan yang ditetapkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) selaku lembaga pelaksana Ujian Nasional 2008, yang menetapkan salah satu kriteria peserta didik dinyatakan lulus UN apabila nilai rata-rata minimal 5,25 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan dengan tidak ada nilai di bawah 4,25 (http://www.sfeduresearch.org/content/view/339/65/ lang,id/.).
Fakta lain yang menunjukkan rendahnya hasil belajar siswa, dapat dilihat langsung di sekolah-sekolah. Itu tercermin dari perolehan nilai siswa di SMA Swasta Raksana Medan, salah satu sekolah yang ada di Medan. Selama kurun waktu lima tahun terakhir ini mengalami penurunan hasil belajar siswa. Dari informasi yang diperoleh dari kepala sekolah dan guru bidang studi akuntansi menunjukkan rendahnya hasil belajar siswa disekolah tersebut, khususnya mata pelajaran akuntansi. Ini terbukti dari nilai rata-rata harian kelas yang di peroleh siswa menunjukkan siswa yang mendapatkan nilai diatas 80 sebanyak 10% dan nilai 60-80 sekitar 30%, dan sisanya di bawah 60 sekitar 60%.
Keberhasilan siswa dalam suatu proses belajar dipengaruhi oleh banyak faktor baik secara internal maupun secara eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang ada dalam diri siswa tersebut seperti kesehatan, psikologis. Sedangkan faktor yang berasal dari luar diri siswa dapat berupa keadaan sosial ekonomi keluarga, sarana prasarana sekolah, lingkungan tempat ia tinggal, kurikulum, kualitas guru, dan sebagainya. Seorang guru harus mampu memahami faktor-faktor ini dan merancang pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan menggunakan strategi dan metode pengajaran yang bervariasi sehingga proses belajar mengajar menjadi lebih menarik dan tidak membosankan dan siswa mau aktif dalam proses belajar mengajar.
Akan tetapi metode pembelajaran yang umum digunakan oleh guru-guru disekolah adalah metode pembelajaran tradisional (MPT). Pada pola ini, peserta didik diposisikan sebagai objek pembelajaran sedangkan guru sendiri sebagai subjek. Kemudian Canra (2008:5) menyatakan “pembelajaran tradisional telah menjadikan peserta didik cenderung pasif dan apatis sehingga peserta didik tidak mengalami proses dari pembelajaran tersebut”. Seperti halnya yang terjadi di SMA Swasta Raksana Medan khusunya dalam mata pelajaran akuntansi, guru masih cenderung menjadi pusat yang memberikan pengajaran secara umum dan bersifat satu arah tanpa memperhatikan perbedaan kemampuan siswa. Dalam proses pembelajaran guru menjelaskan bahan ajar dengan ceramah, memberi contoh soal untuk dikerjakan bersama-sama dikelas, dan memberi tugas di akhir pembelajaran untuk dikerjakan dirumah. Hal ini menjadi salah satu faktor rendahnya hasil belajar akuntansi siswa disekolah tersebut.
Untuk itu dalam mengajarkan akuntansi diperlukan pengajaran yang mendorong siswa mau mempraktekkan apa yang telah dipelajarinya dalam kehidupannya sehingga siswa dituntut untuk terlibat secara aktif dalam proses belajar mengajar. Agar hal ini dapat tercapai, maka guru sebagai fasilitator dan pembimbing bagi siswa harus mampu melakukan pengajaran yang efektif dan efisien dengan merancang model pembelajaran yang sesuai dan strategi serta metode yang bervariasi sehingga pembelajaran menarik dan tidak membosankan bagi siswa.
Salah satu model pembelajaran yang menekankan keterlibatan siswa dalam proses belajar mengajar adalah model pembelajaran kontekstual. Model pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching Learning (CTL)) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa.
(Makalah ini disampaikan pada seminar proposal untuk diteliti oleh Fasaoga. Dilarang menjiplak/mencopy isi makalah ini tanpa seizin penulis)