fotoku

fotoku
FOTOKU BERSAMA TEMAN-TEMAN SAAT BERKUNJUNG KE LOMPAT BATU

Sabtu, Mei 08, 2010

Otonomi Daerah: “Semangat Memajukan Daerah Apa dan Siapa??”

Otonomi Daerah: “Semangat Memajukan Daerah Apa dan Siapa??”

Oleh : FASAOGA ZEBUA, SPD

Pasca bergulirnya reformasi, semangat otonomi daerah semakin hangat dibicarakan oleh berbagai kalangan seperti pemerintah, politisi, aktivis, para pakar, akademisi bahkan orang awam sekalipun. Alhasil setelah beberapa waktu lamanya diperbincangkan oleh banyak pihak, akhirnya lahirlah Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah. Sisi ntpositif dari undang-undang ini adalah daerah dituntut untuk mandiri dalam mengembangkan daerahnya sendiri melalui program dan kebijakan yang dibuat oleh kepala daerah tersebut. Atau dengan kata lain kemajuan suatu daerah bergantung dari kemampuan daerah tersebut. Oleh karena itu sebuah daerah otonom diperbolehkan dimekarkan jika daerahnya telah memenuhi kriteria menjadi daerah otonom baru sebagaimana yang diatur dalam undang-undang. Diberikannya peran yang lebih besar kepada daerah untuk melakukan pembangunan bukan berarti pusat lepas tangan begitu saja. Dalam hal tertentu yang berkaitan dangan kepentingan nasional akan menjadi tanggung jawab pemerintah pusat seperti pertahanan dan keamanan, kebijakan luar negri, keuangan Negara, dan lain-lain.

Ironis.

Semangat untuk memajukan daerah melalui otonomi daerah yang telah diberikan oleh pusat kepada daerah otonom tentulah besar manfaatnya bagi daerah jika dengan benar dilakukan oleh daerah otonom melalui pemerintah daerahnya sebagai pengatur kebijakan daerah. Salah satu daerah otonom yang termasuk berhasil adalah Propinsi Gorontalo. Daerah ini telah membawa kemajuan yang lebih baik karena kepala daerahnya membuat kebijakan dan program dengan sebaik mungkin untuk kemajuan daerahnya. Bagaiman dengan daerah otonom lainnya? Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh departemen dalam negeri menunjukkan ada kurang lebih 80% daerah otonom baru mengalami kegagalan sebagai daerah otonom atau tidak berhasil dalam pembangunan daerah, dan menyejahterakan masyarakatnya. Justru disebagian daerah banyak muncul peraturan-peraturan daerah yang bertentangan dengan kebijakan nasional dan UUD 1945. Peraturan daerah yang dibuat pemerintah daerah banyak yang hanya semata-mata menguntungkan kepentingan tertentu saja sehingga “tidak jarang perda tersebut menimbulkan konflik baru ditengah masyarakat baik secara horinzontal maupun vertikal”. Maka patut kita duga bahwa semangat membentuk daerah otonom baru banyak yang tidak sesuai dengan kenyataan dilapangan, tapi semata-mata didasari kepentingan tertentu yang mengatasnamakan kepentingan umum . Situasi demikian menarik perhatian para pengamat, pakar, akademisi, pemerintah sendiri, politisi, aktivis, dan lain sebagainya dan menyerukan ditinjau ulang pelaksanaan otonomi daerah sehingga ada yang pro dan kontra. Buntut dari persoalan perda-perda yang bermasalah tersebut telah mendorong menteri dalam negeri untuk melakukan evaluasi terhadap perda-perda yang bermasalah. Dari hasil evaluasi yang dilakukan, terungkap bahwa banyak bahkan ribuan perda yang terbukti menyalahi aturan Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 dan UUD 1945. Pemerintah pusat melalui menteri dalam negeri memerintahkan agar perda yang bermasalah dikaji ulang dan bila perlu dicabut. Tidak hanya sampai disitu saja, menetri dalam negeri bahkan mengultimatum daerah otonom baru akan dileburkan kembali ke daerah induk jika tidak mampu menjadi daerah otonom.

Bagaimana dengan Nias……?????.

Besarnya persentse daerah yang gagal dalam mencapai tujuan otonomi daerah tidak terlepas dari kemampuan suatu daerah untuk menjadi darah otonom. Setelah terbitnya undang-undang nomor 22 tahun 1999 telah mendorong banyaknya daerah minta pemekaran baru. Ambil contoh pulau Nias yang dulunya hanya satu kabupaten saja, berangsur menjadi dua kabupaten pada tahun 2003 yakni Kabupaten Nias (induk) dan Nias Selatan (pemekaran baru). Beberapa tahun kemudian, tepatnya menjelang penghujung tahun 2008 daerah ini kembali dimekarkan menjadi lima daerah otonom yang meliputi Kabupaten Nias (induk), Nias Selatan, dan tiga daerah pemekaran baru yaitu Nias Utara, Kota Madya Gunung Sitoli dan Nias Barat. Belakangan muncul wacana baru agar daerah ini menjadi satu propinsi yang dalam waktu yang hampir bersamaan daerah Tapanuli sedang menutut pengesahan menjadi satu daerah propinsi, berpisah dari Sumatera Utara yang walaupun pada saat memparipurnakannya di DPRDSU dan pemerintah Sumut seakan ditunda-tunda yang pada akhirnya memancing amarah masyarakat khusunya Tapanuli yang kita kenal dengan peristiwa 3 Februari 2009 yang menewaskan ketua DPRDSU Bapak H. Abdul Aziz Angkat. Peristiwa tersebut telah menyulut perhatian presiden agar pemekaran daerah dihentikan sementara dan tak terkecuali Gubsu Syamsul Arifin melontarkan pernyataan “baru lahir sudah minta kawin”, dalam artian banyak daerah baru dimekarkan tapi sudah minta dimekarkan lagi. Pernyataan Gubsu tersebut ditujukan bagi daerah pemekaran baru dan yang sedang minta dimekarkan termasuk pulau Nias yang baru beberapa bulan disahkan menjadi lima kabupaten/kota yakni dua yang lama dan tiga yang baru dan juga meminta dipisahkan dari propinsi Sumatera Utara menjadi sebuah propinsi baru.
Yang patut kita pertanyakan: Bagaimana kemajuan yang dilakukan diNias pasca dimekarkan???. Seperti kita ketahui pasca bencana gempa Nias tahun 2005 silam telah mendorong banyak pihak untuk membantu pembangunan di Nias dalam banyak aspek. Ini artinya perkembangan pembangunan yang ada di Nias saat ini lebih banyak karena “bantuan” bukan karena kemampuan daerah tersebut. Hal ini cukup dimasuk akal sebab kenyataannya memang demikian. Tanpa bermaksud merendahkan tapi fakta menunjukkan betapa terbatasnya pendapatan asli daerah (PAD) Pulau Nias, masih banyak bergantung dari APBN (pusat). Memang benar ada banyak potensi didaerah pulau Nias, mulai dari pertanian, maritim, peternakan sangat tersedia didaerah ini. Tapi apalah artinya kalau itu semua hanya dijadikan wacana semata tanpa ada langkah konkrit untuk mengelolanya dangan baik. Jika hanya sebatas itu kita berpikir maka sama saja bohong. Bukankah daerah lain juga memiliki banyak potensi tapi masyarakatnya lebih sejahtera dan tidak ngotot dimekarkan. Lalu apa sebenarnya yang dilakukan oleh pemerintah-pemerintah daerah diNias dan jajarannya sehingga tujuan otonom daerah belum juga tampak? Alasan penulis menujukan pertanyaan ini kepada pemerintah daerah Nias kerena pemerintah daerahlah yang paling bertanggung jawab dalam pelaksanaan otonomi daerah melalui program dan kebijakan yang dibuatnya. Apa yang dikerjakan oleh para pejabat daerah tersebut hanya Tuhan dan pemerintah daerah tersebut beserta jajarannya yang tahu. Tetapi patut kita asumsikan para pemimpin-pemimpin daerah tersebut hanya sibuk mengurusi kepentingan dirinya sendiri. Opini ini semakin dikuatkan dengan amburadulnya birokrasi dan administrasi pemerintah didaerah ini seperti masalah CPNS, Kolusi-Korupsi-Nepotisme yang semakin merajalela, tidak adanya konkrit kebijakan pemerintah daerah yang mementingkan peningkatan taraf hidup masyarakat di Nias, Pembangunan pemerintah yang terkesan hanya asal jadi atau cenderung formalitas. Keadaan demikian mendorong kita kembali bertanya: Kemanakah arah semangat memajukan daerah melalui otonomi daerah???. Menurut hemat saya ““ persepsi kita akan semangat tersebut semakin kuat, bukan sebaliknya berubah menjadi semangat memajukan daerah rumah sendiri (kepentingan diri sendiri) dan tetangga sebelahnya menderita melalui otonomi daerah””. Akan tetapi implementasi semangat memajukan daerah yang selama ini dicanangkan diNias dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Pulau Nias seluruhnya melalui pembangunan yang nyata dalam segala aspek kehidupan oleh para pejabat pemerintah beserta jajarannya dan pihak-pihak lainnya yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan otonomi daerah.
(Penulis tinggal di Medan, mantan aktivis CCIG dan UKnKP)

Otonomi Daerah: “Semangat Memajukan Daerah Apa dan Siapa??”

Pasca bergulirnya reformasi, semangat otonomi daerah semakin hangat dibicarakan oleh berbagai kalangan seperti pemerintah, politisi, aktivis, para pakar, akademisi bahkan orang awam sekalipun. Alhasil setelah beberapa waktu lamanya diperbincangkan oleh banyak pihak, akhirnya lahirlah Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah. Sisi ntpositif dari undang-undang ini adalah daerah dituntut untuk mandiri dalam mengembangkan daerahnya sendiri melalui program dan kebijakan yang dibuat oleh kepala daerah tersebut. Atau dengan kata lain kemajuan suatu daerah bergantung dari kemampuan daerah tersebut. Oleh karena itu sebuah daerah otonom diperbolehkan dimekarkan jika daerahnya telah memenuhi kriteria menjadi daerah otonom baru sebagaimana yang diatur dalam undang-undang. Diberikannya peran yang lebih besar kepada daerah untuk melakukan pembangunan bukan berarti pusat lepas tangan begitu saja. Dalam hal tertentu yang berkaitan dangan kepentingan nasional akan menjadi tanggung jawab pemerintah pusat seperti pertahanan dan keamanan, kebijakan luar negri, keuangan Negara, dan lain-lain.

Ironis.

Semangat untuk memajukan daerah melalui otonomi daerah yang telah diberikan oleh pusat kepada daerah otonom tentulah besar manfaatnya bagi daerah jika dengan benar dilakukan oleh daerah otonom melalui pemerintah daerahnya sebagai pengatur kebijakan daerah. Salah satu daerah otonom yang termasuk berhasil adalah Propinsi Gorontalo. Daerah ini telah membawa kemajuan yang lebih baik karena kepala daerahnya membuat kebijakan dan program dengan sebaik mungkin untuk kemajuan daerahnya. Bagaiman dengan daerah otonom lainnya? Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh departemen dalam negeri menunjukkan ada kurang lebih 80% daerah otonom baru mengalami kegagalan sebagai daerah otonom atau tidak berhasil dalam pembangunan daerah, dan menyejahterakan masyarakatnya. Justru disebagian daerah banyak muncul peraturan-peraturan daerah yang bertentangan dengan kebijakan nasional dan UUD 1945. Peraturan daerah yang dibuat pemerintah daerah banyak yang hanya semata-mata menguntungkan kepentingan tertentu saja sehingga “tidak jarang perda tersebut menimbulkan konflik baru ditengah masyarakat baik secara horinzontal maupun vertikal”. Maka patut kita duga bahwa semangat membentuk daerah otonom baru banyak yang tidak sesuai dengan kenyataan dilapangan, tapi semata-mata didasari kepentingan tertentu yang mengatasnamakan kepentingan umum . Situasi demikian menarik perhatian para pengamat, pakar, akademisi, pemerintah sendiri, politisi, aktivis, dan lain sebagainya dan menyerukan ditinjau ulang pelaksanaan otonomi daerah sehingga ada yang pro dan kontra. Buntut dari persoalan perda-perda yang bermasalah tersebut telah mendorong menteri dalam negeri untuk melakukan evaluasi terhadap perda-perda yang bermasalah. Dari hasil evaluasi yang dilakukan, terungkap bahwa banyak bahkan ribuan perda yang terbukti menyalahi aturan Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 dan UUD 1945. Pemerintah pusat melalui menteri dalam negeri memerintahkan agar perda yang bermasalah dikaji ulang dan bila perlu dicabut. Tidak hanya sampai disitu saja, menetri dalam negeri bahkan mengultimatum daerah otonom baru akan dileburkan kembali ke daerah induk jika tidak mampu menjadi daerah otonom.

Bagaimana dengan Nias…………….?.

Besarnya persentse daerah yang gagal dalam mencapai tujuan otonomi daerah tidak terlepas dari kemampuan suatu daerah untuk menjadi darah otonom. Setelah terbitnya undang-undang nomor 22 tahun 1999 telah mendorong banyaknya daerah minta pemekaran baru. Ambil contoh pulau Nias yang dulunya hanya satu kabupaten saja, berangsur menjadi dua kabupaten pada tahun 2003 yakni Kabupaten Nias (induk) dan Nias Selatan (pemekaran baru). Beberapa tahun kemudian, tepatnya menjelang penghujung tahun 2008 daerah ini kembali dimekarkan menjadi lima daerah otonom yang meliputi Kabupaten Nias (induk), Nias Selatan, dan tiga daerah pemekaran baru yaitu Nias Utara, Kota Madya Gunung Sitoli dan Nias Barat. Belakangan muncul wacana baru agar daerah ini menjadi satu propinsi yang dalam waktu yang hampir bersamaan daerah Tapanuli sedang menutut pengesahan menjadi satu daerah propinsi, berpisah dari Sumatera Utara yang walaupun pada saat memparipurnakannya di DPRDSU dan pemerintah Sumut seakan ditunda-tunda yang pada akhirnya memancing amarah masyarakat khusunya Tapanuli yang kita kenal dengan peristiwa 3 Februari 2009 yang menewaskan ketua DPRDSU Bapak H. Abdul Aziz Angkat. Peristiwa tersebut telah menyulut perhatian presiden agar pemekaran daerah dihentikan sementara dan tak terkecuali Gubsu Syamsul Arifin melontarkan pernyataan “baru lahir sudah minta kawin”, dalam artian banyak daerah baru dimekarkan tapi sudah minta dimekarkan lagi. Pernyataan Gubsu tersebut ditujukan bagi daerah pemekaran baru dan yang sedang minta dimekarkan termasuk pulau Nias yang baru beberapa bulan disahkan menjadi lima kabupaten/kota yakni dua yang lama dan tiga yang baru dan juga meminta dipisahkan dari propinsi Sumatera Utara menjadi sebuah propinsi baru.
Yang patut kita pertanyakan: Bagaimana kemajuan yang dilakukan diNias pasca dimekarkan???. Seperti kita ketahui pasca bencana gempa Nias tahun 2005 silam telah mendorong banyak pihak untuk membantu pembangunan di Nias dalam banyak aspek. Ini artinya perkembangan pembangunan yang ada di Nias saat ini lebih banyak karena “bantuan” bukan karena kemampuan daerah tersebut. Hal ini cukup dimasuk akal sebab kenyataannya memang demikian. Tanpa bermaksud merendahkan tapi fakta menunjukkan betapa terbatasnya pendapatan asli daerah (PAD) Pulau Nias, masih banyak bergantung dari APBN (pusat). Memang benar ada banyak potensi didaerah pulau Nias, mulai dari pertanian, maritim, peternakan sangat tersedia didaerah ini. Tapi apalah artinya kalau itu semua hanya dijadikan wacana semata tanpa ada langkah konkrit untuk mengelolanya dangan baik. Jika hanya sebatas itu kita berpikir maka sama saja bohong. Bukankah daerah lain juga memiliki banyak potensi tapi masyarakatnya lebih sejahtera dan tidak ngotot dimekarkan. Lalu apa sebenarnya yang dilakukan oleh pemerintah-pemerintah daerah diNias dan jajarannya sehingga tujuan otonom daerah belum juga tampak? Alasan penulis menujukan pertanyaan ini kepada pemerintah daerah Nias kerena pemerintah daerahlah yang paling bertanggung jawab dalam pelaksanaan otonomi daerah melalui program dan kebijakan yang dibuatnya. Apa yang dikerjakan oleh para pejabat daerah tersebut hanya Tuhan dan pemerintah daerah tersebut beserta jajarannya yang tahu. Tetapi patut kita asumsikan para pemimpin-pemimpin daerah tersebut hanya sibuk mengurusi kepentingan dirinya sendiri. Opini ini semakin dikuatkan dengan amburadulnya birokrasi dan administrasi pemerintah didaerah ini seperti masalah CPNS, Kolusi-Korupsi-Nepotisme yang semakin merajalela, tidak adanya konkrit kebijakan pemerintah daerah yang mementingkan peningkatan taraf hidup masyarakat di Nias, Pembangunan pemerintah yang terkesan hanya asal jadi atau cenderung formalitas. Keadaan demikian mendorong kita kembali bertanya: Kemanakah arah semangat memajukan daerah melalui otonomi daerah???. Menurut hemat saya ““ persepsi kita akan semangat tersebut semakin kuat, bukan sebaliknya berubah menjadi semangat memajukan daerah rumah sendiri (kepentingan diri sendiri) dan tetangga sebelahnya menderita melalui otonomi daerah””. Akan tetapi implementasi semangat memajukan daerah yang selama ini dicanangkan diNias dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Pulau Nias seluruhnya melalui pembangunan yang nyata dalam segala aspek kehidupan oleh para pejabat pemerintah beserta jajarannya dan pihak-pihak lainnya yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan otonomi daerah.
(Penulis tinggal di Medan, mantan aktivis CCIG dan UKnKP,)